Skip to main content

opini : lagu Sambel Kemangi (part II)

Sambel Kemangi dan Kesederhanaan

Irama lagu “Sambel Kemangi” yang sederhana dan mengingatkan akan kesederhanaan juga membawa saya pada bayangan suasana desa di siang menjelang sore hari. Jalan – jalan desa yang lebar dengan jejeran sawah di pinggirnya. Penduduk yang berlalu lalang di jalanan relatif sedikit karena biasanya pada siang hari mereka sibuk bekerja di sawah atau pergi ke pasar. Anak – anak juga beberapa terlihat pulang dari sekolah menggunakan sepeda atau bergerombol berjalan kaki. Ibu – ibu bersantai di depan rumah sambil membersihkan sayuran atau menunggui anak balita mereka yang sedang bermain. Beberapa petani mulai pulang dari sawah untuk beristirahat dan bersiap menyantap makan siang serta sembahyang dzuhur. Ah, jadi kangen Jogja deh >.< hehe.

enake jangan asem kecut,
sambele kemangi
mangane bubar nyambut gawe
nadyan lawuh tempe ning sehat awake

segere ngombe banyu kendi
rokok nglinting dewe
nadyan mung manggon ono ndeso
nyatane ayem tentrem
kumpul sak kluargo

aku nrimo watone pokok seger waras
kayaku lumpukno kanggo ngragati sawah
ugo tuku bibit lan rabuke
mangan sak mbendinane sego sambel kemangi

enak opo wong urip ono ngalam dunyo
yen wegah rekoso urip ra biso mulyo
kudangane romo lan ibune
sregepo nyambut gawe ojo lali gustine.
http://www.housing-estate.com/read/2014/04/12/wisata-air-dan-kuliner-di-pinggir-dermaga/
Bagi orang yang sudah terbiasa tinggal di kota besar dengan segala fasilitas dan akses yang mudah, tinggal di desa mungkin terkadang sedikit ‘unimaginable’. Saya pribadi sering tidak dapat membayangkan seandainya saya tidak lahir dan tinggal di Kota Bandung. Saya bersyukur sekali mendapatkan banyak kemudahan karena tinggal di kota ini. Listrik, air bersih, pendidikan, transportasi, internet, bandara, stasiun, terminal, pusat perbelanjaan –hampir semuanya bisa diakses dengan mudah. Tidak semua daerah dianugerahi kemudahan seperti ini kan? Namun begitu, seperti yang ditulis hipwee, meski tidak memiliki fasilitas yang berlimpah seperti di kota, masyarakat pedesaan justru menjunjung tinggi kesederhanaan. Kebanyakan berpikir bahwa yang terpenting adalah bisa bertani dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti pada lirik “Sambel Kemangi” yang mengingatkan kita agar bekerja dengan rajin, namun tetap harus memasrahkan hasil usaha kita pada Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin itu yang mendasari masyarakat pedesaan sehingga tidak banyak menuntut karena semua harta benda pada akhirnya tak akan dibawa ke kubur. Hanya amal kebaikan yang akan menolong kita di kehidupan selanjutnya.

Lagu “Sambel Kemangi” juga menegaskan bahwa meskipun mereka tinggal di desa, kehidupan mereka tetap saja bahagia, nyaman dan tenteram. Mereka masih bisa makan dan minum dengan nikmat serta tinggal berdekatan dengan keluarga. Pada umumnya keluarga memang tinggal berdekatan di desa, mungkin satu dusun atau berlainan dusun –tetapi tetap berdekatan. Saya juga mengamati bahwa hal tersebut memang benar. Di desa nenek saya di Jogja, hampir satu dusun semua masih saudara. Om dan tante saya tinggal tidak jauh dari rumah nenek –bahkan ada yang di sebelah rumah. Begitu juga dengan di kampung halaman ibu saya di Jawa Timur. Hampir semua kerabat ibu tinggal berdekatan satu sama lain. 

Rasa kekeluargaan di desa yang terkenal erat tidak hanya karena ikatan keluarga tapi juga karena kedekatan antar masyarakat desa yang memang sangat terasa. Seperti yang ditulis di situs hipwee bahwa di desa, keluargamu bukan hanya adik, kakak, dan ayah-ibu tetapi ada tetangga dekat maupun jauh yang siap membantu. Masyarakat pedesaan terbiasa untuk saling membantu, bergotong royong atau kerja bakti. Kedekatan inilah yang membuat warga desa menjadi layaknya seperti keluarga sendiri. Mungkin hal ini agak jarang ditemui di daerah perkotaan karena memang kultur yang berbeda. Di daerah perkotaan, menurut saya, waktu untuk berinteraksi dengan tetangga atau warga sekitar hanya sedikit. Orang – orang yang sudah sibuk bekerja seharian mungkin lebih ingin menghabiskan waktu di dalam rumah, bersantai menonton TV atau makan di luar dengan teman akrab daripada sekadar menyapa dan mengobrol dengan tetangga di sebelah rumah.

Di sini akan jarang dijumpai orang yang terus menunduk menatap layar ponsel dan mengabaikan interaksi dengan sekitar. Karena bagi mereka yang terpenting adalah pengalaman dan kemauan berbagi romantisme hidup di tengah kesederhanaan. (hipwee)

Tinggal di desa memang terkenal karena tingkat stress yang relatif lebih rendah daripada tinggal di kota. Situs hipwee menyebutkan bahwa di pedesaan, umum ditemukan masyarakat yang mandi di mata air atau sungai atau menimba air di sumur rumah sendiri dulu sebelum melakukan ritual pagi hari. Ketenangan pagi hari ini mungkin saja membawa kedamaian sepanjang hari.Hal ini berbeda dengan suasana pagi di kota dimana kebanyakan orang diburu waktu dan dihadang kemacetan. Saya suka sekali dengan uraian di situs hipwee yang menuliskan bahwa orang di kota pada umunya terbiasa berpacu dengan waktu, mengikuti ritme kehidupan kota yang cepat sehingga waktu pun seakan habis untuk mengejar masalah- masalah duniawi. Berbeda dengan ritme kehidupan di desa yang berjalan lambat sehingga ketenangan menyelimuti tiap sudut desa. Hal ini dapat membuat kita lebih bisa memaknai arti hidup, bahwa hidup tak hanya melulu untuk mengejar kekayaan duniawi. 
klik.kompas.com
Kesederhanaan adalah kesempatan untuk bercengkrama satu sama lain, peduli antara satu dengan yang lain. (hipwee)

Mengutip kata – kata favorit saya dari Alan Pease dalam bukunya, “Men and women are different. Not better or worse, just different”, saya akan menyesuaikannya menjadi “Living in country and living in city are different. Not better or worse, just different”. Setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan ^^. Semoga artikel ini bisa memberikan inspirasi.

Selalu ada ribuan cara untuk bahagia. (hipwee)

Comments

Popular posts from this blog

opini : lagu Opo Aku Iki - Soimah

Miko Fajar Bramantyo

Lirik Lagu Merapi lan Merbabu - Anik Sunyahni