Skip to main content

opini : buku Back Door Java (bagian 3)

Rumah dan Sebuah Pintu Belakang yang Hilang

Menurut Janice, Kampung Rumah Putri didominasi oleh kelompok keluarga besar. Biasanya, di kampung terdapat tradisi ketika orang tua akan menyiapkan sebidang tanah dengan rumah untuk anak – anaknya. Warga kampung pada umumnya masih memiliki ikatan saudara -walaupun terkadang ikatan jauh. Saya juga mengamati hal ini terjadi di desa tempat kakek dan nenek saya tinggal. Dari 6 orang anak kakek, hanya ayah saya saja yang tinggal di kota berlainan. Salah satu om saya yang tertua tinggal di desa yang sama, tapi berbeda dusun. Satu om yang lain membangun rumah tepat di samping rumah kakek. Satu tante saya juga membangun rumah di dekat rumah kakek. Salah satu tante yang lain tinggal di desa yang sama, hanya di dusun yang berbeda dari dusun kakek maupun dusun om yang tertua. Bahkan, tante yang paling muda dan suaminya tinggal satu rumah dengan kakek dan nenek. Setiap lebaran tiba, saya dan keluarga dari ayah pergi mengunjungi kerabat – kerabat terdekat kakek nenek. Ritual itu selalu dimulai dari rumah terdekat di dusun yang sama dengan dusun kakek. Dari situ saya mengamati ternyata banyak sanak saudara dari kakek maupun nenek yang tinggal satu dusun serta tinggal di dusun – dusun yang terdekat.



Selama melakukan penelitian etnografi di Kampung Rumah Putri, Janice dan suaminya tinggal di satu – satunya rumah yang dikontrakkan di kampung itu. Di sebelah kanan rumah kontrak Janice, terdapat rumah tua dari kayu dan bambu milik pasangan Bapak dan Ibu Cipto. Di sebelah kiri terdapat rumah Ibu Sae (sepupu Pak Cipto) yang tinggal bersama suami dan keempat orang anaknya. Rumah yang Janice kontrak di kampung itu merupakan milik putri sulung keluarga Cipto yang tinggal di kota. Keluarga putri sulung Pak Cipto ini memiliki perekonomian yang lebih baik sehingga dapat membangun rumah yang lebih modern saat itu, dengan dinding dari semen dan lantai keramik. Hal inilah yang membuat Janice bingung karena rumah kontrakan Janice tetap kosong (tidak ada yang mengontrak) ketika Janice kembali lagi ke kampung itu setelah sempat meninggalkan Jogjakarta selama beberapa tahun.

Awalnya Janice mendengar dari beberapa tetangga sekitar yang mengatakan bahwa rumah itu berhantu, sehingga tidak ada yang mau mengontrak. Tentu saja Janice tidak dapat mempercayai begitu saja perkataan itu karena ia menganggap warga sudah terbiasa dengan cerita mistis yang lebih menyeramkan di kampung. Janice merasa bahwa rumah berhantu bukanlah alasan mengapa rumah kontrakannya tetap kosong. Saat itu, Janice juga sempat berpikir mungkin saja karena rumah mungil itu terlalu modern dan “wah” sehingga tidak ada yang mau mengontrak di situ. Namun, nampaknya hal itu bukanlah alasan yang tepat karena Janice mengamati sudah banyak rumah – rumah warga kampung yang diperbaiki dan memiliki dinding dari semen sehingga rumah kontrakannya sekarang tidak menonjol lagi. Keluhan dari Bu Sae mengenai Bu Sae yang sekarang kesulitan pergi ke rumah sepupunya lewat halaman belakang-lah yang kemudian membuat Janice dapat menyimpulkan sebuah alasan mengenai mengapa rumah mungil itu tetap kosong selama ia pergi. Rumah itu tidak memiliki pintu belakang.

Saat Janice dan suaminya pertama kali datang ke Kampung Rumah Putri, rumah milik anak sulung Pak Cipto (keluarga Widodo) masih belum selesai dibangun. Saat itu, bagian belakang rumah masih terbuka sehingga orang dapat dengan mudah mencapainya dari halaman rumah Pak Cipto dan bisa langsung menuju ke halaman rumah Bu Sae. Sebelum rumah itu selesai dan ditempati oleh Janice, Pak Widodo menawarkan agar bagian belakang rumah diberi dinding. Janice dan suaminya setuju saja karena nampaknya memang keluarga Widodo menginginkan untuk dibangun seperti itu. Ketika Janice datang lagi beberapa waktu kemudian, ia mendapati bahwa seluruh halaman belakang telah berdinding tembok setinggi 2 m. Bagi Janice dan suaminya, bagian belakang ini sangat nyaman dan pribadi. Bagi warga kampung, dinding tersebut menandai putusnya hubungan yang ada selama ini antara kampung dan keluarga serta menyebabkan rumah tersebut tidak dapat berfungsi dalam masyarakat kampung.

Janice mulai menyadari masalah ketiadaan pintu belakang ketika ia kedatangan tamu pada suatu sore. Janice menulis bahwa orang Jawa sangat mementingkan etika menerima tamu. Ketika kita kedatangan seorang tamu, minimal kita harus menyuguhkan minuman. Tentu saja, teh manis anget merupakan minuman umum yang ditemui di rumah orang Jawa. Saat itu, Janice sedang kehabisan gula pasir dan meminta tolong kepada anak laki – laki berusia sepuluh tahun yang tinggal di dekat rumah Janice untuk membelikan gula. Bagi anak kecil itu, ketiadaan pintu belakang di rumah Janice membuat ia harus menyembunyikan kantong kresek berisi gula yang baru saja ia beli dibalik bajunya –karena merasa tidak enak pada tamu yang sudah duduk di ruang tamu. Janice baru menyadari seandainya rumah itu memiliki pintu belakang, sudah tentu anak tadi tidak akan memilih masuk lewat pintu depan dan menyembunyikan gula yang baru dibeli.


Dalam buku terjemahan ini, Janice menulis bahwa rumah kampung memiliki ciri khas yaitu pintu depan yang pada umumnya selalu terbuka untuk menerima tamu. Pintu depan dibiarkan terbuka kecuali jika penghuni rumah sedang tidur, tidak berada di rumah atau hari sudah larut malam. Berbeda dengan pintu depan, pintu belakang rumah kampung secara khusus hanya dilewati oleh anggota keluarga dan tetangga dekat saja. Apabila kita tidak memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan penghuni rumah, maka tentu saja kita akan berkunjung lewat pintu depan. Seandainya rumah yang akan kita kunjungi itu adalah rumah tante atau budhe (kakak perempuan dari orang tua) kita -misalnya, maka kita boleh masuk melalui pintu belakang.

Ketiadaan pintu belakang di rumah Janice juga menyebabkan ia “terasing” dari acara slametan yang diadakan di rumahnya sendiri. Janice dan suaminya menawarkan rumah mereka sebagai tempat pertemuan kelompok doa Katolik sebagai salah satu cara agar mereka berpartisipasi dalam kegiatan warga kampung. Selama tinggal di Kampung Rumah Putri, Bu Sae selalu membantu Janice dalam berbagai hal, termasuk dalam acara slametan yang baru pertama kali diadakan di rumahnya. Lagi – lagi karena alasan ketiadaan pintu belakang di rumah kontrakan itu, Bu Sae melarang Janice memasak untuk acara slametan dari dapur rumah Janice. Semua persiapan makanan untuk slametan akan dilakukan dari dapur Bu Sae. Janice tidak mampu menolak walaupun -menurut Janice- dapur di rumahnya lebih baik daripada dapur Bu Sae yang gelap, sempit dan masih berlantaikan tanah. Tapi, Bu Sae keukeuh dengan pendapatnya ini, hingga akhirnya Janice mengalah. Semua persiapan makanan akan disiapkan dari dapur Bu Sae. Seluk beluk acara slametan di rumah Janice (yang disiapkan dari rumah Bu Sae) akan dibahas pada bagian selanjutnya :).
Di jalan - jalan setapak di antara rumah - rumahlah kegiatan dan interaksi ibu - ibu mengalir. Berjalan melintasi ruang rumah tangga di kampung bersama tetangga - tetangga saya sebagai pemandu, mata saya terbuka dan saya menyaksikan masyarakat yang hidup dan mulai memahami peran pentingnya rumah tangga, lebih penting lagi, bagaimana rumah tangga mengubah masyarakat. -Janice Newberry

Setelah membaca buku ini saya baru menyadari suatu hal yang menarik, yang selama ini tak pernah terpikirkan tetapi ternyata merupakan hal yang cukup penting. Pintu belakang -di rumah kampung- merupakan bagian dari fungsi sosial masyarakat. Rumah – rumah di kota, apalagi kota yang sudah modern, pada umumnya tidak memiliki pintu belakang. Kalaupun punya, kebanyakan menuju ke jemuran atau halaman belakang. Rumah saya kebetulan mempunyai pintu belakang, tapi sebagian besar tetangga saya tidak, jadi pintu belakang di rumah saya bukan termasuk bagian dari fungsi sosial. Mungkin karena kebiasaan di lingkungan saya -kota besar- yang tidak “mengenal” pintu belakang. Tapi, saya ingat, apabila di rumah saya sedang mengadakan pertemuan keluarga, arisan atau pengajian, maka ketika acara akan dimulai saya dan adik – adik saya (anggota keluarga yang tidak terlibat dalam acara inti) akan keluar rumah melalui pintu belakang untuk pergi main. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kami tidak mengganggu jalannya acara. Apabila banyak tamu di ruang depan, ayah dan ibu saya pasti menyuruh kami keluar lewat pintu belakang.

Hal menarik lain yang baru saya sadari adalah bahwa rumah kakek saya di Jogjakarta bahkan memiliki tiga pintu -pintu depan, samping dan belakang-. Begitu juga dengan rumah om saya yang berada di sebelah rumah kakek juga memiliki tiga pintu. Saya baru menyadari kalau saya jarang sekali masuk lewat pintu depan rumah kakek saya apalagi ketika tante saya belum mendirikan sebuah warung kecil di depan. Mungkin sudah jadi kebiasaan untuk masuk lewat pintu samping, jadi secara tidak sadar saya juga melakukan hal itu. Uniknya adalah, kakek dan nenek saya malah jarang menggunakan pintu samping dan lebih memilih beraktivitas lewat pintu belakang. Hal ini bisa dikarenakan kamar kakek dan nenek serta dapur lebih dekat ke pintu belakang sehingga lebih memudahkan untuk dijangkau.

Beberapa tetangga dekat juga selalu masuk lewat pintu samping. Pintu depan biasanya ramai saat lebaran atau digunakan untuk menerima tamu yang kurang “dekat”. Pernah sekali waktu saya mengajak seorang teman berkunjung ke rumah kakek. Teman saya disambut lewat pintu depan dan selama kunjungan selalu berada di ruang depan. Berbeda halnya ketika tante saya (dari pihak ibu) datang dari Bandung. Biasanya tante dan keluarga kecilnya disambut melalui pintu samping dan langsung bergabung ke ruang TV dan ruang makan. Perbedaan yang “sepele” tapi cukup menarik bagi saya.

Rumah tante saya yang berada di dusun berbeda dengan kakek juga memiliki tiga pintu. Saya sudah sangat biasa untuk masuk lewat pintu samping yang juga merupakan pintu dapur rumah. Biasanya saya langsung menuju pintu belakang untuk mencari tante saya yang aktivitas sehari – harinya membuat keripik emping. Hal yang menarik adalah ketika saya berkunjung ke rumah om saya yang tertua. Saya selalu masuk lewat pintu depan, meskipun terdapat pintu belakang di rumah itu. Mungkin karena om saya itu memelihara lumayan banyak ayam sehingga halaman belakangnya dipagari bambu sehingga sulit menjangkau pintu belakang dari luar rumah. Lagipula, rumah om saya cukup besar dan pintu belakangnya cukup jauh dari jalan yang biasanya saya lewati untuk menuju ke sana.

Kalau membangun rumah, lebih baik menggunakan pintu belakang atau tidak ya? Hmm..tapi saya kira, sekarang ini membangun rumah -apalagi di kota- biasanya sudah tidak leluasa. Membuat pintu belakang nampaknya kurang memungkinkan atau juga kurang penting bagi masyarakat saat ini. Hmm..who knows?


Comments

Popular posts from this blog

opini : lagu Opo Aku Iki - Soimah

Miko Fajar Bramantyo

Lirik Lagu Merapi lan Merbabu - Anik Sunyahni