Skip to main content

Catatan dari Pinggiran Kota Jogjakarta

What's Your Dream, Anyway?

Alkisah, seorang bocah berusia sekitar 10 tahun di pertengahan tahun 70-an, mencari rumput untuk ternak (ngarit) di pagi dan sore hari. Selesai ngarit, si bocah bergegas untuk pergi ke sekolah yang berjarak beberapa kilometer dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Oh iya, ini plus tidak pake sarapan pagi terlebih dahulu. Si bocah harus berpacu dengan waktu untuk sampai ke sekolah. Kalau si bocah terlambat datang dan tidak kebagian tempat duduk, kemungkinan besar ia harus kembali lagi ke rumah. Maklum, sekolah murah memang selalu minim fasilitas. Nilai - nilai di sekolah kadang jadi mengkhawatirkan, apalagi kalau sudah pelajaran hitung - hitungan. Tidak ada waktu mengulang belajar di rumah. Banyak teman - teman satu kampungnya yang akhirnya menyerah dan berhenti sekolah. Lebih baik jadi kuli pasir atau cari pekerjaan di luar kampung, mendekat ke tengah kota Jogjakarta. Meskipun begitu, si bocah percaya bahwa sekolah -ijazah- penting dan ia harus sekolah agar dapat hidup lebih baik.




Teman mengaritnya adalah adik yang paling besar, seorang laki - laki juga. Selain ngarit, ia dan adiknya juga terbiasa menjadi kuli pasir ketika musim hujan tiba. Sungai di belakang rumahnya akan penuh dengan pasir kalau sedang hujan dan pasti banyak orang yang menjadi kuli pasir -mengangkuti pasir dari pinggir sungai ke truk. Tangannya bisa jadi sangat sakit setelah ngangkut pasir. Tapi lumayan, uang hasil menjadi kuli pasir bisa membantu Ibunya membeli sayur dan lauk pauk. Kalau beras memang alhamdulillah selalu tersedia, karena orang tuanya adalah petani. Walaupun petani yang hanya punya sepetak sawah, setidaknya bukan buruh tani.


Adiknya ada 5 orang dan masih kecil - kecil. Salah satu hal yang ia kenang dari masa kecilnya adalah ketika Ibunya menggoreng sebutir telur, maka telur goreng tadi harus dibagi berenam -untuk ia dan kelima adiknya. Ibunya menggoreng telur juga hanya saat ada kenduren saja, tidak bisa setiap hari. Ibunya biasa memasak sayur - sayuran yang ditanam di sawah sebagai selingan padi, seperti kacang - kacangan. Itu saja.

Ayah dan Ibunya adalah orang yang kaku. Jarang sekali bicara apalagi menanyakan bagaimana sekolahnya, bagaimana nilainya. Paling - paling Ibunya akan datang ke sekolah saat pembagian rapot saja. Di matanya, Ibunya adalah orang yang paling cantik dan tegap badannya di antara orang - orang tua murid lainnya. Meskipun begitu, gurat kerja keras terlihat jelas di wajah dan tangan Ibunya. Setelah bekerja di sawah seharian, Ibunya mengerjakan hampir seluruh pekerjaan rumah -memasak, mencuci, terkadang ikut ngarit di pagi hari. Ibunya jarang bicara ketika sedang bekerja dan tangannya cekatan sekali sehingga banyak pekerjaan yang cepat selesai.

Ayahnya lebih - lebih pendiam. Tersenyum saja mungkin setahun sekali, hanya ketika lebaran. Sekolah tidak terlalu penting bagi Ayahnya. Ayahnya hanya mementingkan ngaji di langgar selepas maghrib bagi si bocah. Tidak boleh sampai melewatkan ngaji. Ngaji, ngarit dan mengurusi adiknya yang penting. Sang Ayah termasuk tokoh penting di kampung itu, banyak orang yang segan padanya. Ayahnya terlalu berkharisma. Sangat berkharisma, bahkan bagi anak - anaknya sendiri -yang tidak pernah tahu bagaimana isi hati Ayah yang sesungguhnya.

Bagi si bocah, kesusahan hidup yang ia jalani setiap hari terbayar sudah kalau ia bisa bermain sepak bola atau bola voli di sore hari. Meskipun tanpa sepatu. Baginya tidak apa - apa harus ngarit di pagi dan sore hari. Jadi kuli pasir saat musim hujan. Asal setelah itu bisa bermain di lapangan bersama teman - temannya, ia sangat bahagia. Walaupun sehabis bermain kakinya akan sakit - sakit karena tidak memakai sepatu. Bagi si bocah, hidup itu sangat sederhana. Ia hanya berpikir tentang hari ini dan tidak ingin mengkhawatirkan hari esok.

Mimpinya saat ia masih 10 tahun dulu hanya satu. Ia ingin masuk ke SMK Negeri setelah lulus dari SMP. Tujuannya hanya satu. Agar ia bisa bekerja di pabrik setelah lulus SMP. Ia berpikir akan lebih baik kerja di pabrik ketimbang hanya menjadi kuli pasir di kampungnya. Mimpi bersekolah di SMK Negeri-lah yang selalu mengalahkan rasa lelah dan beban di badan kecilnya itu. Meskipun mahal, meskipun tes masuknya susah, tapi ah..itulah impian terbesarnya.

Comments

Popular posts from this blog

opini : lagu Opo Aku Iki - Soimah

Miko Fajar Bramantyo

Lirik Lagu Merapi lan Merbabu - Anik Sunyahni