Skip to main content

Umar Kayam


Sumber: tirto.id

Salah satu sastrawan ternama Indonesia yang juga merupakan budayawan dan sosiolog, Umar Kayam, lahir di Ngawi pada tanggal 30 April 1932. Ia juga dikenal sebagai kolumnis, pejabat pemerintah, dosen, penulis skenario, dan aktor film yang memerankan Bung Karno dalam film layar lebar yang berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI. Seperti yang ditulis pada laman kemdikbud.go.id, Umar Kayam menyelesaikan sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada dan kemudian meraih gelar M.A. dari Universitas New York, AS di tahun 1963. Umar Kayam kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Cornell, AS dan meraih gelar Ph. D. pada tahun 1965. Pada tahun 1986, Umar Kayam memperoleh gelar profesor dari UGM, tempat ia mengabdikan ilmunya, dan dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM pada tahun 1988. Ia meninggal dunia pada tanggal 16 Maret tahun 2002.

Selain menulis karya sastra, Umar Kayam juga aktif menulis esai, kolom dan karya ilmiah. Beberapa karyanya yang terkenal adalah cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), novelet Sri Sumarah dan Bawuk (1975), novel Para Priyayi (1992), kumpulan cerpen Parta Krama dan novel Jalan Menikung (1999). Seperti ditulis di laman kemdikbud.go.id., Umar Kayam mendapatkan hadiah Sastra ASEAN (S.E.A. Write Awards) pada 1987 dan penghargaan dari Yayasan Buku Utama di tahun 1995 atas karyanya Para Priyayi.

Lebih lanjut di laman kemdikbud.go.id dituliskan bahwa karya Umar Kayam yang berjudul Seribu Kunang-Kunang di Manhattan serta Sri Sumarah dan Bawuk diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan juga telah disalin ke beberapa bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda, Minang, dan Makassar serta berbagai bahasa asing, seperti Jepang, Jerman, dan Perancis.

Satu-satunya karya Umar Kayam yang sudah saya baca adalah Para Priyayi. Saya membaca versi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh The Lontar Foundation dengan judul The Javanese Gentry. Gaya penceritaan yang runut, detail dan mengasyikkan membuat saya betah menyelesaikan novel sebanyak 373 halaman ini. Novel The Javanese Gentry sangat sarat makna filosofis kebudayaan Jawa. Karakter-karakter yang diciptakan sangat beragam dan memiliki ciri khas tersendiri. Novel ini pun diceritakan dari berbagai sudut pandang karakter yang ada. Karakter favorit saya adalah Ndoro Guru Kakung Sastrodarsono, anak seorang petani yang dianggap menjadi awal mula munculnya keturunan kaum priyayi di keluarganya.

Menurut laman kemdikbud.go.id, novel yang diterbitkan pada tahun 1992 ini menjelaskan makna priyayi dalam konsep budaya Jawa melalui pemikiran si karakter tentang dirinya, tempat asal, lingkungan, dan cita-citanya. Pembaca yang berlatar belakang budaya Jawa akan memahami sikap tokoh yang berkarakter Jawa, seperti sifat sumarah, sabar, dan nrimo. Sedikit banyak saya juga merasa ada hubungan yang familiar dengan beberapa cerita dalam novel ini. Mungkin karena suasana dan beberapa kebiasaan atau cara pandang hidup yang mirip seperti yang saya alami di keluarga saya sendiri.

“You may be the big gentleman now, my boy, but keep in mind where you’ve come from, 
the bean-vine the forgetting the pole it grew up on, what? 
Your house may be priyayi, but you won’t run it on your wages alone. 
A priyayi is someone looked up to by people, not someone who grows rich. 
His learning is what makes him respected. But having said that, you’ve still got to stand on your own two feet. And to do that you’ve got to grow things, just like our peasants, to grow enough for the pot, for a full stomach, so that you won’t worry of lack distracting you all the time.”
 –The Javanese Gentry, Umar Kayam

Comments

Popular posts from this blog

opini : lagu Opo Aku Iki - Soimah

Miko Fajar Bramantyo

Lirik Lagu Merapi lan Merbabu - Anik Sunyahni