Skip to main content

I Am Malala

Menantang Maut di Perbatasan Pakistan-Afganistan


Buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada Mei 2014 ini merupakan terjemahan dari buku berjudul I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and was Shot by the Taliban. Buku ini ditulis oleh Malala Yousafzai dan Christina Lamb –seorang jurnalis lulusan Oxford University yang kini bekerja di harian Sunday Times. Buku I Am Malala diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan.

I Am Malala menceritakan kisah nyata seorang gadis Pakistan pemberani yang memperjuangkan hak anak perempuan untuk bersekolah. Negara Pakistan merdeka pada tahun 1947, dua tahun setelah negara Indonesia merdeka, namun situasi politik di Pakistan begitu bergejolak karena adanya perebutan kekuasaan serta intervensi negara asing seperti Rusia dan Amerika. Setelah daerah tempat tinggal Malala dikuasai oleh kelompok militan bernama Taliban, kemalangan demi kemalangan mulai menimpa para penduduk desa.

Malala dan keluarganya tinggal di Swat -sebuah daerah yang berjarak 160 km dari ibu kota Pakistan, Islamabad. Di dalam buku ini Malala menuliskan bahwa ia tumbuh besar di lingkungan sekolah milik ayahnya, Ziauddin Yousafzai. Berbeda dengan laki-laki Pakistan saat itu, ayah Malala merupakan sosok pendukung utama Malala untuk bersekolah dan mencari ilmu. Ziauddin tidak membedakan antara anak perempuan atau laki-laki –keduanya berhak tumbuh dan dididik setara.

Ketika Taliban mulai gencar melakukan pengeboman gedung sekolah dan melarang anak perempuan bersekolah, Ziauddin bersama Malala pun mulai aktif melakukan penentangan. Kadang mereka muncul di acara TV untuk menyuarakan hak-hak mereka yang dirampas Taliban. Mereka berharap pemerintah Pakistan segera mengusir Taliban dari lembah –dan negara mereka. Kecintaan Malala terhadap sekolah dan keinginannya agar anak-anak lain bisa bersekolah membuat Malala berani menyuarakan opininya meskipun ia dan ayahnya sering mendapat ancaman.

Aktivitas penentangan yang dilakukan oleh Malala dan ayahnya inilah yang menyebabkan Malala ditembak oleh Taliban pada Oktober 2012. Malala ditembak beruntun sebanyak tiga kali. Tembakan itu menembus rongga mata kiri Malala. Banyak orang beranggapan Malala akan meninggal karena penembakan tersebut, namun Allah berkata lain. Setelah berjuang menjalani operasi dan perawatan di rumah sakit di Birmingham, Inggris, keadaan Malala berangsur membaik. Sebuah peluru menghantam Malala dan peluru itu membengkakkan otaknya, mencuri pendengarannya, dan memotong saraf di sisi kiri wajahnya dalam hitungan detik. Namun, ada jutaan orang yang berdoa untuknya dan Allah menyelamatkannya. Malala merasa bahwa ia diselamatkan demi satu alasan –agar dapat menggunakan hidupnya untuk menolong sesama manusia.

Penembakan itu ternyata membuat nama Malala semakin dikenal. Pada hari ulang tahunnya yang keenam belas, Malala berpidato untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan mengenakan syal putih milik Benazir Bhutto, Malala mengimbau para pemimpin dunia untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak di dunia. Malala berkata bahwa buku dan pena adalah senjata yang paling perkasa untuk mengubah dunia. Malala kemudian menjadi penerima nobel perdamaian termuda pada tahun 2014.

Aku tak ingin dianggap sebagai “anak perempuan yang ditembak oleh Taliban”, tapi “anak perempuan yang berjuang untuk pendidikan”. –Malala Yousafzai
 
Nama Malala “yang ditembak oleh Taliban” sering saya dengar, namun baru kali ini saya benar-benar membaca kisahnya. Saya tergerak membaca buku tersebut setelah minggu lalu mendengarkan wawancaranya di acara mingguan Oprah Winfrey, Super Soul Conversations. Dalam acara tersebut Oprah sempat memuji ayah Malala yang dianggapnya sebagai manusia luar biasa. Seorang manusia, ayah, yang mampu membesarkan anak perempuannya untuk bertumbuh dan maju, meskipun orang-orang dan adat di sekeliling menentang. Bagi Malala, ayahnya telah membiarkan ia hidup seperti yang ia inginkan; bersekolah, mandiri dan memiliki hak untuk menyuarakan pendapat.
 
sumber: thepuristonline.com
 
Membaca I Am Malala membuat saya berpikir betapa remehnya keluhan-keluhan yang sering saya lontarkan dan betapa sederhana tantangan yang saya hadapi sehari-hari. Di belahan dunia yang berbeda, ada orang-orang yang tidurnya tidak nyenyak karena khawatir dengan pengemboman dan penjarahan. Di belahan dunia lainnya, perempuan dipaksa untuk tinggal di dalam rumah dan dilarang bepergian apalagi bersekolah –dan jika bersikeras bersekolah, mereka bisa saja dibunuh!

Terkadang kita lalai mensyukuri nikmat yang telah dimiliki karena nikmat tersebut ada setiap hari. Namun setelah nikmat itu pergi, barulah kita menyadari bahwa hal tersebut sangat berharga. Banyak nikmat yang sering kita sepelekan dan abaikan adalah hal-hal yang diperjuangkan habis-habisan oleh sebagian orang di luar sana.
 
Kita, manusia, tidak menyadari betapa hebatnya Allah. Dia telah memberi kita otak yang luar biasa dan hati yang peka, dan penuh cinta. Dia telah memberkahi kita dengan dua bibir untuk bicara dan mengungkapkan perasaan kita, dua mata yang melihat dunia penuh warna dan keindahan, dua kaki untuk menempuh jalan kehidupan, dua tangan untuk bekerja. Hidung yang mencium indahnya wewangian, dan dua telinga untuk mendengar kata-kata cinta. Seperti yang kusadari lewat telingaku, tak seorang pun tahu seberapa banyak kekuatan yang mereka miliki dalam setiap organ mereka, hingga mereka kehilangan salah satunya. –Malala Yousafzai





***


P.S. Postingan ini spesial untuk editor buku I Am Malala: Menantang Maut di Perbatasan Pakistan-Afganistan, yang merupakan mentor sekaligus atasan saya di kantor :)

Comments

Popular posts from this blog

opini : lagu Opo Aku Iki - Soimah

Miko Fajar Bramantyo

Lirik Lagu Merapi lan Merbabu - Anik Sunyahni